Monday, May 26, 2008

SEJARAH PENGKODIFIKASIAN AL-QUR’AN

SEJARAH PENGKODIFIKASIAN AL-QUR’AN

PENDAHULUAN

Al-Qur’an Al-Karim turun dalam masa sekitar 22 tahun atau tepatnya, menurut sebagian ulama, 22 tahun, 2 bulan, dan 22 hari.[1]
Ada beberapa faktor yang merupakan faktor-faktor pendukung bagi pembuktian otentisitas Al-Qur’an:[2]
1. Masyarakat Arab, yang hidup pada masa turunnya Al-Qur’an, adalah masyarakat yang tidak mengenal baca tulis. Karena itu, satu-satunya andalan mereka adalah hafalan. Dalam hal hafalan, orang Arab bahkan sampai kini dikenal sangat kuat.
2. Masyarakat Arab, khususnya pada masa turunnya Al-Qur’an, dikenal sebagai masyarakat yang sederhana dan bersahaja. Kesederhanaan ini menjadikan mereka memiliki waktu luang yang cukup, disamping menambah ketajaman pikiran dan hafalan.
3. Masyarakat Arab sangat gandrung lagi membanggakan kesusastraan, mereka bahkan melakukan perlombaan-perlombaan dalam bidang ini pada waktu-waktu tertentu.
4. Al-Qur’an mencapai tingkat tertinggi dari segi keindahan bahasanya dan sangat mengagumkan bukan saja bagi orang-orang mukmin, tetapi juga orang-orang kafir. Berbagai riwayat menyatakan bahwa tokoh-tokoh kaum musyrik seringkali secara sembunyi-sembunyi berupaya mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca oleh kaum Muslim. Kaum Muslim, disamping mengagumi keindahan bahasa Al-Qur’an, juga mengagumi kandungannya, serta meyakini bahwa ayat-ayat Al-Qur’an adalah petunjuk petunjuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
5. Al-Qur’an, demikian pula Rasul SAW, menganjurkan kepada kaum Muslim untuk memperbanyak membaca dan mempelajari Al-Qur’an dan anjuran itu mendapat sambutan yang hangat.
6. Ayat-ayat Al-Qur’an turun berdialog dengan mereka, mengomentari keadaan dan peristiwa-peristiwa yang mereka alami, bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Di samping itu, ayat-ayat Al-Qur’an turun sedikit demi sedikit. Hal itu lebih mempermudah pencernaan maknanya dan proses penghafalannya.
7. Dalam Al-Qur’an, demikian pula dalam hadits-hadits Nabi, ditemukan petunujuk-petunjuk yang mendorong para sahabatnya untuk selalu bersikap teliti dan hati-hati dalam menyampaikan berita, lebih-lebih kalau berita tersebut merupakan Firman-Firman Allah atau sabda Rasul-Nya.
Faktor-faktor diatas menjadi penunjang terpelihara dan dihafalkannya ayat-ayat Al-Qur’an. Itulah sebabnya, banyak riwayat sejarah yang menginformasikan bahwa terdapat ratusan sahabat Nabi SAW yang menghafalkan Al-Qur’an.
Dikala Nabi SAW telah berada di Madinah, beliau memilih diantara para sahabat beberapa penulis yang ditugaskan untuk menjadi penulis wahyu. Diantaranya Zaid ibn Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdullah ibn Mas’ud, Anas ibn Malik, Ubay ibn Ka’ab, Muawiyah ibn Abi Sofyan, Az Zubair ibnul Awwam, Abdullah ibn Arqam, Abdullah ibn Rawahah dan lain-lain.[3]



PEMBAHASAN

I. AL-QUR’AN DIMASA ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ
Telah kita ketahui bahwa Al-Qur’an itu diturunkan berangsur-angsur. Setiap turun Al-Qur’an Nabi Muhammad SAW menyuruh penulis wahyu menulisnya. Kebanyakan sahabat menghafalnya. Akan tetapi walaupun ditulis oleh para penulis wahyu, namun dia tidak akan terkumpul dalam suatu mushaf.
Para sahabat di masa Nabi SAW masih hidup menulis pada kepingan-kepingan tulang, pelepah-pelepah korma dan pada batu-batu. Mereka menulis Al-Qur’an pada benda-benda tersebut karena kertas pada masa itu belum ada. Maka walaupun Al-Qur’an telah terkumpul semuanya dan ditulis pada benda-benda tersebut, suatu hal yang nyata, alqur’an tidak terkumpul dalam suatu mushaf.
Setelah Rasulullah SAW wafat dan Abu Bakar menjadi Khalifah, bergeraklah Musailamah Al Kadzab mendakwakan dirinya Nabi. Dia dapat mempengaruhi Banu Hanifah dari penduduk Yamamah lalu mereka menjadi murtad. Setelah Abu Bakar mengetahui tindakan Musailamah ini, beliau menyiapkan suatu pasukan tentara untuk memerangi Musailamah dan pengikutnya. Perang ini disebut ”perang Yamamah” yang menurut sebagian ahli sejarah telah gugur tidak kurang dari tujuh puluh orang penghafal Al-Qur’an.
Melihat yang demikian itu, timbullah hasrat Umar bin Khatab untuk meminta kepada Abu Bakar agar Al-Qur’an dikumpulkan. Beliau khawatir akan berangsur-angsur hilang Al-Qur’an kalau hanya dihafal saja, karena para penghafalnya kian bertambah kurang.
Untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tersebar-sebar Abu Bakar menugaskannya kepada Zaid ibn Tsabit dan dibantu oleh beberapa anggota lain, semuanya penghafal Al-Qur’an, yaitu Ubay ibn Ka’ab, Ali bin Abi Thalib, dan Utsman bin Affan. Mereka berulang kali mengadakan pertemuan dan mereka mengumpulkan tulisan-tulisan yang mereka tuliskan di masa Nabi.[4]
Abu Bakar memerintahkan kepada seluruh kaum muslimin untuk membawa naskah tulisan ayat Al-Qur’an yang mereka miliki ke Masjid Nabawi untuk kemudian diteliti oleh Zaid dan timnya. Dalam hal ini Abu Bakar memberi petunjuk agar tim tersebut tidak menerima satu naskah kecuali yang memenuhi dua syarat:[5]
· Harus sesuai dengan hafalan para sahabat lain.
· Tulisan tersebut benar-benar adalah yang ditulis atas perintah dan dihadapan Nabi SAW. Untuk membuktikan syarat kedua tersebut, diharuskan adanya dua orang saksi mata.
Sejarah mencatat bahwa Zaid ketika itu menemukan kesulitan karena beliau dan sekian banyak sahabat menghafal ayat Laqad ja’akum Rasul min anfusikum ’aziz ’alayh ma ’anittun harish ’alaykum bi al-mu’mina Ra’uf al-rahim (QS 9:128). Tetapi, naskah yang ditulis dihadapan Nabi SAW tidak ditemukan. Syukurlah pada akhirnya naskah tersebut ditemukan juga di tangan seorang sahabat yang bernama Abi Khuzaimah Al-Anshari. Demikianlah, terlihat betapa Zaid menggabungkan antara hafalan sekian banyak sahabat dan naskah yang ditulis di hadapan Nabi SAW, dalam rangka memelihara keotintakan Al-Qur’an. Dengan demikian, dapat dibuktikan dari tata kerja dan data-data sejarah bahwa Al-Qur’an yang kita baca sekarang ini adalah otentik dan tidak berbeda sedikitpun dengan apa yang diterima dan dibaca oleh Rasulullah SAW lima belas abad yang lalu.[6]
Maka dengan usaha badan ini, terkumpullah Qur’an di dalam shuhuf dari lembaran-lembaran kertas. Dalam pada itu, ada juga riwayat yang menerangkan bahwa badan tersebut menulis Al-Qur’an dalam shuhuf-shuhuf yang terdiri dari kulit dan pelepah korma. Inilah pengumpulan Al-Qur’an pertama.[7]

II. AL-QUR’AN DIMASA UMAR BIN KHATAB R.A
Setelah Abu Bakar wafat, shuhuf-shuhuf itu dipegang oleh Umar bin Khattab. Menurut suatu riwayat Umar menyuruh menyalin Al-Qur’an dari shuhuf-shuhuf itu pada suatu sahifah (lembaran).[8]
Sesudah Umar wafat shuhuf atau sahifah itu disimpan oleh anak beliau Hafshah. Adapun sebabnya disimpan oleh Hafshah karena:
v Hafshah adalah istri Rasul dan anak Khalifah
v Hafshah merupakan orang yang pandai menulis dan membaca

III. AL-QUR’AN DIMASA UTSMAN BIN AFFAN
Gerakan Mengumpulkan Shuhuf-Shuhuf Dalam Satu Mushaf Di Masa Utsman
Sesudah beberapa tahun berlalu dari pemerintahan Utsman, timbullah beberapa penggerak yang menggerakkan para sahabat supaya meninjau kembali shuhuf-shuhuf yang telah di tulis Zaid bin Tsabit.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas, bahwa sekembali Hudzaifah dari peperangan Armenia yang lasykarnya terdiri dari orang-orang Syiria dan Irak, menerangkan kepada Utsman yang menjadi Khalifah pada saat itu bahwa penduduk Syiria membaca menurut qiraat Ubay bin Ka’ab, sedangkan penduduk Irak membaca menurut qiraat Abdullah bin Mas’ud. Masing-masing golongan menyalahkan yang lain. Hudzaifah khawatir hal itu akan menimbulkan hal-hal yang tidak baik kalau tidak segera dihilangkan perselisihan-perselisihan itu.
Karenanya, Utsman memanggil tokoh-tokoh sahabat dan menyuruh mereka menulis sebuah naskah (mushhaf) yang menjadi pegangan bagi seluruh rakyat. Naskah itu disebut Al Imam. Utsman meminta supaya mushhaf Abu Bakar yang disimpan oleh Hafshah dibawa kepadanya, dan menyuruh Zaid serta beberapa orang lain untuk menyalinnya. Kepada Zaid dan anggota-anggota penyalin mushhaf diberi satu pedoman yaitu : Apabila mereka berselisih dalam menulis sesuatu huruf maka hendaklah mereka menulis dengan bahasa Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Quraisy.[9]
Sesudah sempurna disalin, maka naskah itu dikembalikan kepada Hafshah. Kemudian ke tiap-tiap kota besar yaitu Makkah, Damsyik, Yaman, Bahrein dan Kufah, dikirim sebuah naskah mushhaf disertai oleh seorang penunjuk yang menerangkan kepada mereka bagaimana harus membaca serta menerangkan juga kepada mereka bahwa qiraat yang boleh dipakai adalah yang sesuai dengan naskah itu, dan harus meninggalkan ta’wil-ta’wil Ubay ibn Ka’ab dan Abdullah ibn Mas’ud.
Untuk Utsman sendiri ditinggalkan sebuah mushhaf (naskah). Segala naskah-naskah yang tidak resmi dibakar semuanya, terkecuali naskah asal yang tinggal ditangan Hafshah. Naskah ini tinggal ditangan Hafshah sampai wafatnya pada tahun 45 H. Kemudian naskah itu disimpan oleh Abdullah ibn Umar. Diwaktu Marwan menjadi gubernur Madinah naskah itu diminta dan dibakarnya.[10]

IV. HUKUM MENULIS AL-QUR’AN
Abu Abdillah Al Harits ibn Atsar Al Muhabsy telah menjawab soal ini sebagai berikut: Menulis Al-Qur’an tidaklah bid’ah, karena Nabi SAW telah menyuruh menulisnya walaupun pada masa itu ditulis pada pelepah-pelepah korma, kepingan batu dan tulang-tulang. Abu Bakar Ash Shiddiq hanya menyuruh menyalinnya dari tempat-tempat tersebut kepada suatu tempat yang terkumpul. Abu Abdullah berkata pula: Kita dapat mempercayai tulisan-tulisan Al-Qur’an yang ditulis pada benda-benda tersebut, sebagaimana kita mempercayai hafalan-hafalan para sahabat, adalah karena mereka yang mengumpulkan itu terdiri dari orang-orang yang mempersaksikan sendiri bacaan Nabi. Sebenarnya yang dikhawatirkan oleh Abu Bakar ialah hilangnya sekeping atau dua tiga keping dari shuhuf Al-Qur’an, bukan ditakuti hilang hafalannya.[11]

V. SEKITAR TULISAN AL-QUR’AN
Bentuk Tulisan Yang Dipergunakan Untuk Menulis Al-Qur’an dan Para Ahli Tulis Pada Masa Itu.
Mushhaf yang ditulis atas perintah Utsman itu tidak berbaris dan bertitik. Karena itu berbeda-beda qiraatnya. Setelah banyak orang-orang Persia masuk Islam, maka perselisihan qiraat itu bertambah luas. Untuk menghindari perselisihan, ketika itu Ziyad yang menjadi hulu balang di Irak meminta kepada Abul Aswad Ad Dualy, salah seorang dari ketua-ketua Tabi’in, membuat tanda-tanda pembacaan. Abul Aswad lalu memberi baris huruf penghabisan dari kalimat saja dengan memakai titik diatas sebagai baris diatas dan titik dibawah sebagai tanda baris dibawah dan titik disamping sebagai tanda didepan dan dua titik sebagai tanda baris dua.[12]
Usaha Abul Aswad ini kemudian disempurnakan oleh muridnya yang bernama Nashr ibn Ashim Al Laitsi yang wafat pada tahun 99 H. Beliau membuat titik atas huruf-huruf yang serupa. Kemudian dalam masa Abbasiyah, barulah Al Khalil ibn Ahmad yang wafat pada tahun 170 H membuat tanda-tanda baris sebagaimana yang kita kenal sekarang ini.[13] Al Khalil mengubah sistem baris Abul Aswad dengan menjadikan alif yang dibaringkan diatas huruf tanda baris diatas dan yang dibawah huruf tanda baris dibawah, dan waw tanda baris didepan. Beliau jugalah yang membuat tanda mad (panjang pembacaan) dan tasydid (tanda ganda huruf).[14]
Sesudah itu barulah penghafal-penghafal Al-Qur’an membuat tanda-tanda ayat, tanda-tanda waqaf (berhenti), dan ibtida’ (mulai), serta menerangkan di pangkal-pangkal surat nama surat dan tempat-tempat turunnya, di Makkah atau di Madinah dan menyebut bilangan ayatnya.[15]

VI. MUSHHAF SESUDAH UTSMAN
Dari naskah-naskah yang dikirim Utsman itu, ummat Islam menyalin Al-Qur’an untuk mereka masing-masing dengan sangat hati-hati, hemat dan cermat. Abdul Aziz ibn Maryan gubernur Mesir, setelah menulis mushhafnya, menyuruh orang memeriksa seraya berkata : “Barang siapa dapat menunjukkan barang sesuatu kesalahan dalam salinan ini, diberikan kepadanya seekor kuda dan 30 dinar”. Diantara yang memeriksa itu ada seorang Qari yang dapat menunjukkan suatu kesalahan, yaitu perkataan naj’ah, padahal sebenarnya na’jah.[16]
Maka dengan tersebarnya mushhaf itu, bersungguh-sungguhlah umat Islam menghafal Al-Qur’an, mentajwidkan hafalannya dan menyalin mushhaf-mushhafnya. Dengan demikian berangsur-angsur lenyaplah mushhaf yang ditulis para sahabat dan tinggalllah dalam pelukan masyarakat mushhaf yang ditulis oleh Utsman yang dinamai dengan musshaf Al Imam.

VII. PERMULAAN AL-QUR’AN DICETAK
Mula-mula Al-Qur’an dicetak di Hamburg (jerman) pada tahun 1694 M., di akhir abad yang ke 12 dari tahun Hijriyiah.

VII. CARA MENULIS AL-QUR’AN YANG DIPAKAI UNTUK MENULISNYA DI LUAR MUSHHAF.
Sesudah terkenal dalam masyarakat kita umumnya, bahwa tulisan Al-Qur’an mempunyai system atau cara yang tersendiri, yang menyalahi atau melaini cara yang dipakai para ulama dalam menulis kitab. Tegasnya, berlainan dengan undang-undang atau aturan-aturan yang ditetapkan ilmu imla’ yang dipergunakan untuk menulis kitab sejak abad ketiga hingga sekarang ini.
Menulis mushhaf diikuti cara yang dipakai dalam menulis mushhaf di masa Utsman ibn Affan Khalifah yang ketiga, yang dilaksanakan oleh komisi yang terdiri dari sahabat-sahabat besar. Tulisan-tulisan itu dinamai Resam Utsmani.[17]
Ada tiga pendapat para ulama mengenai kemestian kita mengikuti resam Utsmani dalam menulis Al-Qur’an, yaitu:[18]
1. Tidak dibolehkan sekali-kali kita menyalahi Khath Utsmani, baik dalam menulis waw, maupun dalam menulis alif, menulis ya, atau lain-lainnya. Pendapat ini dipegang teguh oleh Imam Ahmad.
2. Tulisan Al-Qur’an itu bukan tauqifi, bukan demikian diterima dari Syara’. Tulisan yang sudah ditetapkan itu tulisan yang dimufakati menulisnya dimasa itu. Tegasnya, boleh kita menulis dengan cara lain.
Diantara ulama-ulama besar yang menguatkan pendapat ini ialah: Ibnu Khaldun dalam Muqaddamahnya, dan Al Qadli Abu Bakar dalam kitab Al Intishar. Dalam kitab ini beliau berkata: Tuhan tidak mewajibkan kita menulis Al-Qur’an dengan cara yang tertentu. Tidak ada nash, juga tidak tidak didapati mafhum yang menunjuk kepada bagaimana kita menulis Al-Qur’an dengan tulisan tertentu. Juga tidak ada hadits yang menunjukkan tentang itu. Dan tidak ada qiyas yang memestikan kita menulis Al-Qur’an dengan khath tertentu. Sunnah menunjuk kepada kita menulis Al-Qur’an dengan cara yang memudahkan. Rasul SAW hanya memerintahkan para penulis Al-Qur’an dengan tidak menerangkan cara menulisnya.
Inilah sebabnya terdapat bermacam-macam khath dalam Al Mushhaf. Ada yang menulis kalimat berdasarkan kepada cara menyebutnya, ada yang menambah dan mengurangi. Mereka tahu bahwa tulisan itu terserah kepada istilah. Karena itu bolehlah kita menulis Al Mushhaf dengan huruf-huruf Kufy dan dengan tulisan zaman purba. Dan boleh kita tulis mushhaf dengan kahth dan ejaan lama, sebagai mana boleh dengan khath dan ejaan baru.
3. Pengarang At Tibyan dan pengarang Al Burhan memilih pendapat dari Ibnu ‘Abdis Salam, yaitu kebolehan kita menulis Al-Qur’an untuk umum manusia menurut istilah-istilah yang dikenal oleh mereka dan tidak diharuskan kita menulis menurut tulisan lama, karena dikhawatirkan akan meragukan mereka. Dalam pada itu haruslah ada orang yang memelihara tulisan lama, sebagai barang pusaka. Tulisan itu dipelihara oleh para ‘Arifin.


PENUTUP

Demikianlah sejarah pengkodifikasian Al-Qur’an dari mulai awal penulisan ayat-ayat sampai berbentuk kitab seperti sekarang ini. Dari sini dapat kita ketahui bahwa sudah tidak ada lagi keraguan dalam Al-Qur’an karena dari uraian diatas dapat dipastikan bahwa Al-Qur’an yang ada sekarang sama dengan yang ada pada zaman Nabi dan para sahabat.







[1] Dr. M. Quraish Shihab, “Membumikan Al-Qur’an”, Mizan, Bandung, 1994, cetakan ke-VII, hlm. 23
[2] Ibid, hlm. 23-24
[3] M. Hasbi Ash Shiddieqy, “Pengantar Ilmu Fiqh”, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1991, cetakan ke-VII, hlm. 135
[4] Ibid, hlm. 86
[5] Dr. M. Quraish Shihab, “Membumikan Al-Qur’an”, Mizan, Bandung, 1994, cetakan ke-VII, hlm. 25
[6] Ibid
[7] [7] M. Hasbi Ash Shiddieqy, “Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir”, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1994, cetakan ke-XV, hlm. 84
[8] Ibid
[9] M. Hasbi Ash Shiddieqy, “Pengantar Ilmu Fiqh”, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1991, cetakan ke-VII, hlm. 139
[10] Ibid, hlm. 139-140
[11] M. Hasbi Ash Shiddieqy, “Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir”, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1994, cetakan ke-XV, hlm. 92
[12] Ibid,hlm. 93
[13] M. Hasbi Ash Shiddieqy, “Pengantar Ilmu Fiqh”, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1991, cetakan ke-VII, hlm. 140
[14] M. Hasbi Ash Shiddieqy, “Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir”, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1994, cetakan ke-XV, hlm. 94
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Ibid, hlm. 95
[18] Ibid, hlm. 95-97

1 comment:

Anonymous said...

assalamualaikum...

maaf numpang tanya... apakah mbak adalah mbak farida inayati yang dulu pernah tinggal di winangun manado..

kalo ya.. saya nenox, temen mbak waktu di manado.
jika iya hub saya di anes_rai@yahoo,com

jazakillah ya mbak